Minggu, 18 Juli 2010

Wahyudi: Mengingkari “Kuburan” Solo
(sekadar catatan personal untuk Tri Wahyudi yang berpameran tunggal, 17-27 Juli 2010)

Penulis: Kuss Indarto

[bagian satu]

NAMA dan karya Tri Wahyudi pertama kali saya kenali pada perhelatan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2007. Namanya menjadi salah satu dari sekitar 35 nama seniman yang lolos seleksi pameran tahunan tersebut. Waktu itu, saya sebagai kurator dan perupa Arie Diyanto sebagai co-curator menerima sekitar 600 lebih proposal dari para seniman muda yang berkehendak terlibat dalam pameran. Ada beberapa aturan main yang ingin saya (sebagai Ketua Divisi Seni Rupa) terapkan dalam pameran FKY tahun itu. Antara lain, perhelatan hanya terbuka bagi para seniman di bawah usia 35 tahun, dan tidak menutup kemungkinan bagi para seniman Yogyakarta dan dari luar Yogyakarta untuk berpartisipasi

Poin terakhir itu tampaknya begitu menyedot perhatian bagi Wahyudi hingga dia begitu antusias mengikutkan salah satu karyanya dalam pameran yang kala itu bertajuk kuratorial “Shout Out! Berteriaklah!” Dan menarik pula untuk diingat karena dari 35 nama seniman peserta/karya itu, hanya ada 3 karya lukisan, yakni karya Robi Fathoni, Aji Yudalaga, dan Tri Wahyudi. Saya katakan menarik karena sebagai kurator, saya mencoba bersikukuh untuk mencari sebanyak mungkin “kebaruan dan penyegaran” dalam artefak ekspresi karya para seniman muda. Dan salah satu bentuk “kebaruan dan penyegaran” itu dengan “mengutamakan” karakter karya beserta pilihan-pilihan medium juga tema yang beragam dan sebisa mungkin lepas dari gejala arus besar. Tak mudah memang. Kala itu sebagian besar seniman menggunakan medium yang relatif “baru” (meski jelas tak baru-baru amat) seperti video art, object arts, sneakers art, dan tidak sedikit seni instalasi. Bahkan ada yang mengusung “sawah mini” dalam gedung. Ada karya Indieguerillas, Uji Hahan Handoko, Iwan Effendi, Comic Bomber, Trio Samsul Arifin, David Armi Putra dan Bayu Yuliansyah yang tengah berkolaborasi, Ngurah Udiantara “Tantin”, Dona Prawita, dan masih banyak lagi.

Dan di antara kerumunan karya-karya seperti itulah ada tiga lukisan, salah satunya karya Tri Wahyudi. Lukisan itu semi-komikal. Belum cukup istimewa secara visual, namun seperti menyimpan hal yang cukup berbeda ketimbang kebanyakan karya lain yang serupa. Warna-warnanya pun cukup bersahaja: merah hati dan hijau tua yang sepertinya “diambil begitu saja” dari tube tanpa banyak dibaurkan dengan warna lain. Subyek utamanya figur-figur yang seolah beterbangan dalam satu ruang dengan pemiuhan (deformasi) fisik yang mulai fasih: seenaknya, menyelaraskan dengan alur imajinasi dalam benak. Belum ada “manis-manisnya”, dan justru di situlah sepertinya kebebasan visual itu bergerak dalam karya Wahyudi. Itulah kekuatan karyanya.

Berikutnya, setahun kemudian, karya Tri Wahyudi saya kenali kembali setelah lolos 50 Besar Mon Décor Painting Festival 2008. Sebenarnya malah lolos dalam 25 Besar yang relatif lebih ketat karena 25 karya yang lain merupakan karya dari seniman undangan yang berpartisipasi tanpa seleksi. Sementara karya Wahyudi harus bertarung dengan sekitar 700 karya lain yang datang dari banyak kota di Indonesia. Kebetulan saya salah satu dari tim juri di samping kurator Jim Supangkat, Dr. M. Agus Burhan dan seniman senior, Ivan Sagita. Artinya, pengakuan awal atas masuknya karya Wahyudi dalam perhelatan itu telah ditunjang oleh legitimasi kuat dari tim juri. Meski tak bisa dibilang dengan kemutlakan, namun keberadaan karya Wahyudi dalam event itu dimungkinkan memberi implikasi yang baik bagi perjalanan kreatifnya yang bergerak dari Solo, kota “pinggiran” dalam seni rupa di Indonesia. Wahyudi pasti sadar dengan posisi tersebut.

[bagian dua]

WALAUPUN berjarak hanya sekitar 64 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan kereta api Pramex, namun perkembangan seni rupa di kota Solo (= Surakarta) kurang seprogresif tetangganya, Yogyakarta. Bahkan kalah riuh dibanding kota Semarang. Sama-sama memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan tinggi, sama-sama dianggap menjadi sumbu dan simbol kebudayaan Jawa, namun pada perkembangannya Yogyakarta-Surakarta masing-masing memiliki kelebihan yang berbeda. Mereka menemukan pilihan masing-masing yang tak seutuhnya sama dan setara. Tri Wahyudi, anak muda kelahiran Surakarta, 11 November 1986 ini pun mengakui. Dalam jagad seni tari, Kota Bengawan ini jelas dianggap telah melahirkan sekian banyak empu. Sementara di ranah seni rupa, Solo tertinggal sangat jauh ketimbang Yogyakarta yang melaju pesat.

Kalau kemudian ditelusuri, memang, ada problem titik berangkat historis yang timpang jauh satu sama lain. Yogyakarta memiliki ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang lahir kurang dari lima (5) tahun setelah usia republik ini setelah terbit surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949, dan diresmikan 15 Januari 1950. Sementara Solo baru memiliki kampus seni, yakni Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), setelah terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 068/1964 tertanggal 15 Juli 1964. Dan Jurusan yang berkait dengan seni rupa baru dibuka bertahun-tahun kemudian.

Berdirinya sebuah kampus seni sudah barang pasti pantas dicatat karena kemudian banyak sekali pergeseran, perubahan dan geliat dinamika seni juga tak sedikit ditentukan dari sana. Mungkin bukan sepenuhnya karena tata aturan, sistem birokrasi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan belum tentu semuanya mampu menjadi roda perubahan itu. Melainkan lebih karena kampus berangsur-angsur menjadi ruang sentrum bagi berkumpulnya banyak gagasan dan meluapnya pengharapan yang kemudian lahir dari banyak orang muda (atau yang tetap merawat kemudaan) untuk berpikir terus melestarikan kemajuan. (Kampus, pasti, hanya satu gelintir soal dilaur hal lain yang juga sangat berpengaruh seperti suprastruktur dan infrastruktur pendinamisasi seni rupa).

Dalam segala kelebihan dan kekurangannya, Wahyudi mengaku merasa beruntung bisa masuk di Program Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2004. Sebelumnya, selama kurang lebih setahun aktif di Sanggar Kalpika, Yogyakarta. Dia merasa, inilah saatnya berbuat yang lebih baik untuk mengembangkan diri dan kariernya. Dalam kampus dia banyak bertemu dengan para dosen, terutama yang senior, yang kelak dirasakannya telah banyak memberi pembekalan penting bagi perjalanan kreatifnya. Dengan I Gusti Ngurah Nurata, Wahyudi banyak member tumpuan proses pembelajarannnya pada masalah-masalah teknis melukis. Dan bersama Bonyong Munni Ardhie, dia merasa menemukan titik hubung proses pewacanaan dalam dunia seni rupa yang ditemuinya antara praktek di lapangan dan dari dalam diktat-diktat kuliah. Kedua dosen ini—yang kebetulan sama-sama alumni ASRI Yogyakarta—memang seperti menjadi “legenda” bagi para mahasiswa seni rupa di ISI Surakarta. Para dosen lain, termasuk yang muda, tentu saja juga memberi peran yang cukup besar pula bagi proses pembentukan pola berpikirnya. Ada sosok seperti Sofwan “Kipli” Zarkasi yang disebutnya cukup memberi pandangan yang berbeda dalam menatap kerja kreatif sebagai seniman.

Di luar itu, seperti halnya kebanyakan mahasiswa lain, Wahyudi mencoba aktif di banyak aktivitas. Pada kurun awal dia melihat setidaknya dua komunitas seni rupa yang paling aktif dan cukup berpengaruh di kota Solo, yakni Kelompok Bim Salabim (ISI Surakarta) yang dikomandoi oleh teman seangkatannya, Pithut Saputra, dan Kelompok Banting Stir (Seni Rupa UNS, Universitas Negeri Solo). Wahyudi sesekali mengikuti aktivitas yang dibuat 2 kelompok tersebut meski tidak sangat intens. Mereka banyak bergerak untuk membuat aktivitas seni di “jalanan” seperti membuat mural di sebuah kawasan, pameran seni dengan material pameran yang tidak konvensional, dan semacamnya.

Karena bukan pendiri dan tak menjadi “anggota tetap” dalam komunitas itu, maka Wahyudi pun dengan bebas bisa bergerak seperti yang dimauinya untuk masuk dan keluar mengikuti minat dan intuisinya. Merasa telah cukup “menyimak” komunitas itu, dia bersama 25 kawan seangkatan dan sejurusannya membuat kelompok Ranting Seruni. Sayang kelompok ini tak cukup kuat kuat disokong oleh pemikiran-pemikiran kreatif yang mendasarinya sehingga kegiatan dan pencapaiannya pun tidak banyak bergaung dalam ruang-ruang pendengaran masyarakat seni yang lebih luas. Juga, sayangnya, tak cukup awet bertahan. Maka, tak lama kemudian hanya tinggallah nama Ranting Seruni itu. Kelompok yang kemudian sempat “dihinggapi” Wahyudi adalah Kelompok Pintu Mati yang diprakarsai oleh Ning Yuliastuti, salah satu dosen yang kebetulan istri dosen dan perupa Bonyong Munnie Ardhi.

[bagian tiga]

PADA tahun-tahun terakhir di masa studi di ISI Surakarta Wahyudi seperti telah menemukan banyak kemungkinan jalan yang bisa dilewati untuk membangun karir dan reputasinya sebagai seniman. Kesadaran bahwa tak akan mungkin banyak berkembang andai hanya mengandalkan jaringan di dalam kota Solo menebalkan spiritnya untuk merangsek mencari celah jejaring kerja kreatif dan sosial yang lebih luas. Mungkin ini bisa dianggap terlalu berlebihan karena sebenarnya Wahyudi tak memiliki komunitas atau kelompok seni yang kuat yang ada di belakang punggungnya. Dia murni bergerak sendiri secara personal sebagai seniman yang memang ingin banyak menimba sistem pengetahuan yang lebih baru dan segar bagi pengayaan kreatifnya sebagai kreator dan sebagai mahasiswa yang ingin berkembang jauh.

Karena tanpa beban menyangga sebuah komunitas inilah maka memuat dua kemungkinan yang bisa datang secara beriringan dan saling berseberangan. Pertama, tak ada target yang cukup jelas untuk membangun jejaring kerja lebih tegas dan berimplikasi pada komunitas yang dibawanya. Dengan demikian, yang terjadi adalah anjangsana personal dengan target personal pula. Pola seperti ini tak jarang menyulitkan bagi partner jejaring yang lain untuk membuat sebuat art project yang lebih serius dan dalam skala yang lebih besar. Kedua, persentuhan dengan jaringan seni dari kota lain seperti diposisikan sebagai “kotak charger baterray” yang diharapkan bisa meng-charge kemampaunnya sebagai seniman, namun bukan sebagai bagian penting dari system jaringan kerja yang tentu membutuhkan energy besar yang dimungkinkan akan menyedot energi kreatif Wahyudi yang lain untuk bekerja sebagai seniman (= pelukis). Pola ini yang tampaknya masih dianut oleh Wahyudi.

Maka, enjoy-lah dia sesekali ke Yogyakarta untuk mengunjungi dan mengobrol dengan beberapa seniman muda yang seumuran atau komunitas seni yang diakrabinya untuk menimba informasi yang lebih baru. Juga ke komunitas seni dan seniman-seniman tertentu di Semarang. Dari sanalah kemudian muncul ide-ide untuk berpameran bersama di ruang-ruang alternatif yang masih membebaskan proses dan target pameran itu dari perangkap pasar, misalnya. Ini sangat penting bagi pertumbuhan seniman muda semacam Wahyudi yang butuh “ruang antara” untuk bergerak di antara dunia yang pragmatis dan dunia yang penuh idealisme dalam seni.

Pameran tunggalnya kali ini kiranya merupakan buah dari ketekunan seorang Wahyudi yang menggali keteguhan dan keyakinannya terhadap pilihan profesi dan hidupnya untuk menekuni dunia seni rupa. Sebelumnya, dalam studi formal di ISI Surakarta, dia juga tekun menempuh jalur-jalur yang semestinya dijalani hingga sempat menerima beasiswa atau PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) mulai semester ke-3 sampai beberapa semester berikutnya. Ini pencapaian tersendiri bagi anak pasangan Daryo-Sulastri ini. Apalagi setelah menginjak semester ke-5 Wahyudi betul-betul telah mandiri dari beban ketergantungan subsidi finansial keluarganya. Karya-karyanya telah “berbuah”, diapresiasi dan direspons dengan baik oleh publik. Dari sinilah publik akan bisa menyimak lebih seksama: Apakah kota Solo memang “selamanya” tidak mampu melahirkan perupa yang matang, ataukah Wahyudi tengah datang dengan membawa kekecualian? Jalan masih sangat panjang. Dan Wahyudi—dan sekian banyak perupa (muda) lainnya—pantas untuk mengingkari anggapan bahwa Solo sebagai “kuburan bagi perupa” dengan membopong secuil harapan. Semoga!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar